Suku Angkola Bukan Batak

Rabu, 15 Juli 2020

DALIMUNTHE MARGA SUKU ANGKOLA



https://sukuangkola.blogspot.com



DALIMUNTHE ANGKOLA BUKAN BATAK BUKAN BATAK ANGKOLA

Ada beberapa pakar Antropologi yang menyebut bahwa asal usul kita adalah dari perpindahan orang" Suku Munda di India Utara ke Asia Tenggara termasuk Nusantara telah berlangsung sejak tahun 1500 SM karena terdesak dengan kedatangan bangsa Aryan.

Selanjutnya kembali ke topik:
Saya masih berkeyakinan pada suatu pandangan bahwa kebanyakan varga = ma varga = par marga Angkola istilah jadul klan/par al: Dalimunthe, Daulae, Harahap, Siregar dll berasal/masuk dari pantai timur Swarnadwipa (Sumatera). Sebelum kedatangan orang Tamil/Kalinga dari India (+/- 500 M), beberapa klan tersebut bersama orang Lubu (penduduk asli) telah lama membentuk komunitas di Panai (Padanglawas). Pendatang asing atau orang Kalinga (Holing) hanya bermaksud mencari/menambang emas untuk memenuhi pasokan ke negerinya. Mereka menemukan emas mulai dari hulu Sungai Barumun, hulu Sungai Batanggadis (Mandailing), sampai daerah Pasaman (Sumbar). Pada abad ke-7 Panai adalah gazal (mandala) dari Sriwijaya melepaskan diri dari Kalinga kini menguasai komoditi perdagangan emas ini dan hasil hutan diangkut ke Teluk Aru Barumun - Pantai Timur. Hal ini menyebabkan kecemburuan Rajendra Chola yang pada masa itu telah menaklukkan Kalinga datang menyerang Sriwijaya tahun 1025 M (Prasasti Tanjore) hingga akhirnya menguasai semua kawasan "Mandala Holing". Selanjutnya R Chola ingin menempatkan kembali kota perdagangan ini ke Barus, disana ditempatkan orang" Tamil selaku petugas pajak (Prasasti Lobu Tua 1088 M). Dari tuturan tetua beberapa marga tersebut terlibat dalam perdagangan ker Sriwijaya al: Panglima Haru dan Parmato Sopiak disebut adalah pegawai tinggi Sriwijaya. Hanya saja menurut pandangan saya trend marga itu baru ada pada abad ke-13. Sebaliknya marga" Batak meskipun ada yang sama namanya dengan marga" Angkola, mereka mengaku berasal dari klan (seketurunan) dalam suatu komunitas di Pantai Barat (Lobu Tua). Sementara itu kita marga" Angkola yang sejak dulu eksis di Tano Angkola mengaku berasal dari beberapa klan yang tidak seketurunan. Saya menghargai pernyataan mereka BATAK karena mengakui sesama keturunan Si Raja Batak, tetapi saya tegas ANGKOLA bukan juga BATAK ANGKOLA karena marga Dalimunthe bukan nasab/keturunan Si Raja Batak. Mari saling menghormati karena kita tetap sebangsa Indonesia. Santabi tu hamu Naposo/Nauli Bulung Angkola/Padanglawas ni patingkos ma nian dohot penelitian.



https://m.facebook.com/groups/147517652695203?view=permalink&id=705124123601217

ASAL MULA MARGA DALIMUNTHE

     Kisah Marga Dalimunthe di Aek Billah

  Mengenang Marga Dalimunthe diaek bilah rantau parapat labuhan batu
Pada zaman dahulu kala nenek moyang saya dgn para saudara dan saudarinya serta para pengikut dan pengawalnya  merapat didaerah pinggiran sungai yg banyak bebatuan  suatu ketika daerah tersebut ramai untuk jual dan beli ( Perniagaan ) termasuk maaf perdagangan budak  hingga dikenal   kota ar'qat  hingga kini dikenal rantau parapat
Didaerah sinilah pertama kali kami menurut tutur keluarga menyandang marga dalimunthe  yg berasal dari kerajaan Tersebut Dari Muang tche / Huangche  /Muangthe / Thuanche / Thanche mungkin kini tersebut Aceh
Familiarnya Dalimunthe  karena penyebutan hurup R tersebut Atau terdengar L yaitu : Dali = Dari dan Muangthe = Munthe
Baijuri Dali Munthe

Rantau Prapat (kota)
Ibukota Kabupaten Labuhanbatu

Rantauprapat ( Arab Melayu/ Jawi: رنتاو ڤاراڤات, dibaca: Rantau Prapat) adalah ibu kota Kabupaten Labuhanbatu, Sumatra Utara, Indonesia. Kota ini dilintasi oleh Jalan Raya Lintas Sumatra Timur. Kota ini berada di dekat perbatasan Sumatra Utara dan Riau. Kota ini dilengkapi dengan akses kereta api, yang menghubungkan kota ini dengan ibu kota provinsi, Medan.

Fakta Singkat: Negara, Provinsi ...
Rantauprapat sebelumnya merupakan kota administratif, yang dihapuskan statusnya pada tahun 2003 menjadi kota kecamatan biasa karena tidak memenuhi persyaratan peningkatan daerah otonom. pada tahun 1993-1994 kota ini mendapatkan predikat kota bersih dibuktikan dengan diberikannya penghargaan adipura oleh Presiden kala itu Soeharto.

Etimologi
Nama Rantauprapat tidak diketahui dengan jelas. Ada masyarakat yang mengatakan bahwa nama Rantauprapat berasal dari kata "Merantau ke Parapat (desa)". Namun ada juga yang berpendapat bahwa Rantauprapat adalah tempat persinggahan orang-orang merantau sehingga banyak orang yang menjadi merapat/semakin dekat.

Pemerintahan
Wilayah Rantauprapat terbagi menjadi 2 kecamatan dan 19 kelurahan dalam Kabupaten Labuhanbatu

Rantau Utara
Rantau Selatan
Geografi
Rantauprapat memiliki luas 17.679 Ha (176.79 km²) atau 2.4% dari wilayah Sumatra Utara. Secara geografis, Rantauprapat terletak pada 2°09'30.4"–2°00'57.7" Lintang Utara dan 99°46'30.8"– 99°53'06.8" Bujur Timur

Secara Administratif, batas wilayah Rantauprapat adalah sebagai berikut:
Utara, Selatan ...
Rantauprapat dilintasi oleh Sungai Bila (Bilah), yang bermuara di Sungai Barumun di dekat Tanjung Sarang Elang. Ada juga beberapa sungai-sungai kecil yang melintasi Rantauprapat, yang kemudian bergabung dengan Sungai Bilah.

Iklim
Iklim Rantauprapat tergolong tropis. Curah hujan di Rantauprapat cukup signifikan, dengan curah hujan bahkan selama bulan terkering. Iklim ini dianggap Af sesuai klasifikasi iklim Köppen-Geiger. Suhu tahunan rata-rata adalah 26,0° C di Rantauprapat, suhu terendah tercatat yaitu 12,22 C atau 55 F pada dini hari pada tanggal 24 april 2018. Curah hujan di sini rata-rata 2567 mm.
Agama
data BPS Kabupaten Labuhanbatu tahun 2017, mayoritas penduduk Kota Rantau Prapat menganut agama Islam yakni 73.71%, kemudian Kristen Protestan 16.37%, Katolik 7.36%, Buddha 1.40 %, Hindu 1.14 %, dan Konghucu 0.02%.

Transportasi
Darat
Ada satu terminal di Rantau Prapat, yaitu Terminal Padangbulan

Rantauprapat juga memiliki becak motor, yang dapat ditemukan di setiap persimpangan jalan. Desain becak motornya juga sama dengan becak motor di Kota Medan. Juga dapat membawa penumpang ke mana saja dalam kota, termasuk juga jalan yang menanjak, dimana kota ini memiliki banyak jalan yang tidak rata atau berbukit.

Ada angkot yang membawa penumpang dari pusat kota Rantauprapat menuju Sigambal

Kereta api Sribilah menghubungkan Rantau Prapat dengan Medan, dan beberapa kota lainnya yang berada di jalur, seperti Kisaran, Tebing Tinggi,

Udara
Pembangunan sebuah bandar udara sudah direncanakan. Letaknya direncanakan berada di dekat kota Aek Nabara, Bilah Hulu, yang berjarak 10 km dari batas Rantauprapat

Pusat Perbelanjaan
Plaza dan Mal
Suzuya Plaza, terletak di dekat Taman Makam Pahlawan, Rantau Utara. Merupakan pusat perbelanjaan yang pertama kali dibuka di Rantauprapat
Brastagi Supermarket, terletak di Jalan Jend. Ahmad Yani, Rantau Selatan
Suzuya Rantauprapat Mall, terletak di dekat Universitas Labuhanbatu, Rantau Selatan. Merupakan mall pertama di Rantauprapat
Homesmart, terletak di Jalan Sisingamangaraja, Rantau Selatan. Merupakan plaza yang menjual bahan bangunan
Pasar
Pasar Lama, pasar tradisional pertama di Rantau Prapat
Pasar Baru, pasar yang sudah ditutup dan digantikan oleh Pasar Gelugur
Pasar Gelugur, merupakan pasar dengan konsep yang menggabungkan pasar tradisional dengan pasar modern. Pasar ini adalah pasar yang paling ramai di Rantauprapat
Pasar Sigambal, pasar yang berada di Sigambal, Rantau Selatan.
Rencana Pembentukan Kota Rantau Prapat
Rantauprapat yang merupakan ibu kota Kabupaten Labuhanbatu direncanakan menjadi kota. Kecamatan yang mungkin bergabung ke dalam kota ini meliputi:

Rantau Selatan
Rantau Utara
Bilah Barat (pengajuan pemekaran kecamatan)

https://sukuangkola.blogspot.com

Dalian Na Tolu Angkola

Simbur matoras Angkola Bukan Batak
DALIHAN NATOLU
Dalihan Natolu adalah suatu dasar kerajaan angkola yg terdiri dari tiga aturan
1.Aturan raja
2.Aturan adat
3.Aturan hukum.

  Jika Negara Indonesia dasar negaranya pancasila maka SukuAngkola dasar kerajaannya Dalihan Natolu
Suku apakah pemilik Dalihan natolu?
Pemilik Dalihan Natolu adalah suku angkola
Fakta sejarahnya,prasasti lobu dolodk 1,2,3
Prasasti ini terletak di desa aek tolong,kec padang bolak julu,kab Paluta prop Sumut.
Prasasti ini tertulis pd batu memakai bahasa angkola dgn tulisan gurat angkola.
Adapun isinya  Setiyaningsih dkk,terjemahan
1.Datanglah datanglah menjadi miliknya(aturan raja)
2.paradat (aturan adat)
3.paruhum(aturan hukum)

Menurut ismail daulae,terjemahan

1.Disinilah disinilah tempat berusaha
2.Paradat
3.Paruhum

(hasil penelitian sekitar 10 tahun lalu)

Ketika penulis berangkat kedua kalinya 4tahun lalu ,menemani mahasiswa arkeologi UI Jakarta,prasasti ini telah dekat dengan kebun karet warga milik mantan kepala desa aek tolang.

Adapun hasil penelitian kami adalah

1.prasasti ini di buat sekitar abad ke12
2.prasati ini terbuat dari batu granit yg di pahat dgn batu keras atau batu kali.
3.Tulisan yg dipakai adalah gurat angkola dan berbahasa angkola
4.isi dari prasasti tersebut sama dgn terjemahan sdr ismail daulae.

Bukti bukti lain kejayaan kerajaan Hang chola

Jika Indonesia :

1.Bentuk pemerintahan republik
2.kepala pemerintahan presiden
3.dasar negara Panca Sila
4.lambang negara burung garuda
5.semboyan,Bhinneka Tunggal Ika
6.bahasa ,Indonesia
7.ibukota Jakarta
8.mata uang ,Rupiah

Maka Hang Chola(angkola)

1.bentuk pemerintahan kerajaan
2.kepala pemerintahan Raja
3.dasar kerajaan Dalihan Natolu
4.lambang kerajaan Gajah
5.semboyan,Salumpat Saindege
6.bahasa Angkola
7.ibukota ,portibi selanjutnya pindah ke p.sidimpuan
8.mata uang koin perak.

  Ini berlaku sebelum indonesia merdeka.tetapi sebahagian masih ada yg dipakai.
Peringatan keras,dilarang mengklaim hasil lenelitian saya ini.
https://angkola.com/
https://m.facebook.com/groups/1702036363428151?view=permalink&id=1933522616946190

Adat Istiadat Perkawinan Suku Angkola

Adat Istiadat Perkawinan Suku Angkola Bukan Batak

Suku Angkola
Perkawinan marlojong
Pada masyarakat Angkola, jaringan kekerabatan itu muncul karena adanya perkawinan, termasuk perkawinan marlojong ‘kawin lari’. Bentuk perkawinan yang seperti ini sering ditemukan di kampung (bona bulu) dan di perkotaan yang merupakan tempat tinggal di perantauan. Pada garis besarnya, perkawinan menurut masyarakat Angkola dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
1) sepengetahuan keluarga yang disebut dengan istilah dipabuat
2) perkawinan tanpa persetujuan orang tua yang disebut dengan marlojong. Masing-masing kedua cara ini ada aturan, tata cara, dan tata tertibnya yang harus selalu dipa-tuhi oleh setiap orang Angkola. Kedua bentuk perkawinan itu tergambar lewat pantun Ang-kola berikut ini, /Aha na tubu di lambung ni suhat/Ulang baen margonjong-gonjong/Adong na marbagas dipabuat/Dung i muse adong na marlojong/ yang artinya adalah, /Apa yang tumbuh dekat keladi/Jangan dibuat berderet lagi/Ada yang kawin dilamar pasti/Namu ada yang kawin lari/.
Perbuatan marlojong ‘kawin lari’ pada masyarakat Angkola merupakan satu kebiasaan apabila perkawinan yang umum tidak dapat dilakukan. Untuk itu, perlu diketahui dan dipahami dengan baik perkawinan menurut adat Dalihan na Tolu ini di daerah Angkola. Tulisan ini memberikan penjelasan untuk lebih mengenal perkawinan marlojong ‘kawin lari’, salah satu cara perkawinan pada masyarakat Angkola. Jadi, perkawinan marlojong ini merupakan jalan keluar yang akan ditempuh oleh sepasang muda-mudi Angkola apabila mereka memperoleh kesulitan dan kendala yang tidak dapat diselesaikan. Untuk itu, penyelesaian masalah dapat dilakukan melalui mufakat seperti kata pantun Angkola berikut ini, /Mago pahat mago uhuran/Di toru ni ragi-ragi/Mago adat tulus aturan/Anggo dung mardomu tahi/ yang artinya adalah, /Hilang pahat hilang ukuran/ Di bawah adanya urat/Hilang adat hilang aturan/Kalau sudah bertemu mufakat/. Maksudnya, musyawarah/mufakat itu dapat menyelesaikan semua permasalahan yang timbul.
Pengertian “Kawin Lari”
Istilah “kawin lari” dalam masyarakat Angkola disebut dengan marlojong . Berdasarkan etimologinya, kata marlojong berasal dari awalan mar yang berarti ‘ber’ lalu melekat pada kata lojong yang berarti ‘lari’. Jadi, kata marlojong berarti ‘berlari’. Kemudian kata marlojong berkembang artinya menjadi ‘kawin lari’. Menurut masyarakat Angkola, marlojong ‘kawin lari’ ini merupakan satu perkawinan yang dapat diterima dalam adat istiadat. Perkawinan marlojong ini dilaksanakan tanpa
sepengetahuan/persetujuan orang tua perempuan. Ada juga yang menyebut marlojong ini dengan dua istilah lain yaitu mambaen rohana dan marlojong takko-takko mata. Istilah mambaen rohana terdiri atas dua kata. Pertama, kata mambaen yang berasal dari kata baen yang berarti ‘buat’ dengan mendapat awalan mam yang berarti ‘ber’. Kedua, kata rohana pula yang berasal dari kata roha yang berarti ‘hati’ dan akhiran na yang berarti ‘–nya’. Jadi, ungkapan mambaen rohana berarti ‘berbuat hatinya’ yang mengandung pengertian ‘menurutkan kata hatinya’. Istilah marlojong takko-takko mata pula berasal dari kata marlojong ‘berlari’, takko-takko yang berarti ‘curi-curi’ dan mata yang juga berarti ‘mata’. Sehingga istilah marlojong takko-takko mata ini berarti ‘berlari curi-curi mata’. Kemudian dalam perkembangannya, arti istilah marlojong takko-takko mata ini berubah menjadi ‘mencuri, tetapi dilihat/diketahui’.
Maksudnya, marlojong ‘kawin lari’ seperti ini disetujui sebagian keluarga dan sebagian lagi kurang menyetujuinya. Perbuatan marlojong ‘kawin lari’ ini dilakukan oleh seorang pemuda, yang disebut dengan bayo, dengan membawa seorang anak gadis, yang disebut dengan boru, ke rumah orang tua/famili pihak laki-laki tanpa diketahui oleh orang tua perempuan. Secara umum, orang tua pihak perempuan kurang menyetujui perkawinan seperti ini karena adanya perbedaan status sosial. Namun marlojong ‘kawin lari’ ini dapat juga terjadi karena melangkahi kakak yang belum kawin yang bertentangan dengan adat istiadat. Dalam hal ini, pantun Angkola berkata, /Diboan dope eme sitarolo/Na dijomurkon di ari parudan/Adat ni ompunta na parjolo/I ma hita paobanoban/ yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah, /Dibawa padi sitarolo pula/Yang dijemur di musim hujan/Adat moyang dahulu kala/Itulah yang jmenjadi pedoman/. Jadi, perkawinan sebaiknya berpedoman pada adat yang ada. Sedangkan, marlojong ‘kawin lari’ ini hanya dilakukan saat muda-mudi itu dalam keadaan terdesak dan “darurat” saja.
Seorang anak gadis yang sudah dewasa dalam masyarakat Angkola pantas untuk dikawinkan. Pantun yang menggambarkan hal itu tampak pada,/Talduskon ma giring-giring/Laho mamasukkon golang-golang/Tinggalkon ma inang adat na bujing/Madung jujung adat matobang/ yang artinya adalah, /Tanggalkan gelang tangan manis/Saat masuk gelang biasa/Tinggalkan kebiasan anak gadis/Sudah sampai ke masa dewasa/. Untuk itu, ada dua cara perkawinan (pabagas boru) menurut adat orang Angkola. Pertama, disebut dengan dipalakka sian tangga jolo yang artinya ‘diberangkatkan dari tangga depan’.
Maksudnya, perkawinan ini dilakukan dengan persetujuan orang tua kedua belah pihak. Perkawinan seperti ini disebut juga dengan dipabuat ‘diambilkan’. Kedua, disebut dengan marlojong ‘kawin lari’. Cara ini dilakukan dengan berangkat dari tangga belakang tempat tinggal anak gadis yang di masyarakat Angkola disebut dengan kehe sian tangga pudi yang berarti ‘pergi melalui tangga belakang’. Pengertian sepenuhnya ungkapan ini adalah ‘pergi kawin dengan kemauan sendiri tanpa izin orang tua’. Kalau seorang anak gadis marlojong dengan seorang pemuda, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu:
(1). Memberi tanda abit partading atau abit partinggal ‘kain pertinggal’. Peralatan yang dipakai adalah kain sarung bermotif kotak-kotak, berwarna hitam, dan di bawah tempat tidur. Tanda ini disebut juga dengan na balun di amak ‘yang bergulung di tikar’. .
(2). Membuat tanda patobang roha ‘menuakan hati’. Caranya, si anak gadis menulis surat kepada kedua orang tuanya yang menyatakan bahwa dia benar telah berangkat untuk berkeluarga dengan menyebutkan nama si laki-laki dan alamat yang ditujunya.
(3). Meninggalkan tanda pandok-dok ‘pemberitahuan’. Tanda ini berupa uang, kain sarung, dan surat.yang bersatu secara utuh serta diletakkan di kamar tidur si gadis. Kata dok berarti ‘kata’. Jadi, pandok-dok mempunyai arti ‘berkata-kata; pemberitahuan’.
Barang-barang tersebut di atas sebagai tanda untuk memberitahukan orang tua bahwa si gadis sudah pergi marlojong ‘kawin lari’. Orang tua si gadis dengan melihat tanda yang ada di kamar tidur, telah mengetahui bahwa anak gadisnya pergi mambaen rohana ‘menurutkan kata hatinya’. Lalu ketika mau marlojong itu, si anak gadis harus bersiap-siap membawa teman. Fungsi temannya ini adalah sebagai pengawal yang disebut dengan pandongani ‘penemani; orang yang menjadi teman si anak gadis ketika marlojong’.
Penutup
Perkawinan marlojong sebenarnya merupakan perkawinan yang kurang disukai orang-orang Angkola. Namun sebab keadaan yang memaksa dan tidak bisa terhindarkan,perkawinan marlojong ini pun banyak pula sekarang ini dipergunakan oleh muda-mudi di Angkola.
Jadi, marlojong ‘kawin lari’ ini sebenarnya merupakan jalan pintas terakhir yang dilakukan seorang pemuda Angkola karena adanya hambatan serta rintangan yang terjadi, terutama karena kekurangsetujuan dari pihak orang tua dan keluarga si anak gadis terhadap si pemuda tersebut.
Oleh Prof. H. Ahmad Samin Siregar
Penulis, Guru Besar Fak. Sastra USU
Sumber : Waspada Online

Suku Angkola

Pengenalan tentang komunitas suku angkola
Suku Angkola adalah salah satu suku di Nusantara yg mempunyai  :
Bahasa : Angkola
Adat istiadat budaya angkola
Wilayah pesebaran suku ini didaerah kabupaten / kota wilayah yg termasuk pemekaran dari kabupaten tapanuli selatan provinsi sumatera 
Negara : Indonesia
Tulisan / aksara : Gurat Angkola
Sejarah / legenda tokoh : Tongku Jolak Maribu Dalimunthe , dll
Pakaian adat : Ampu untuk laki laki dan Bulang untuk perempuan
Mayoritas Beragama / keyakinan ; Agama Islam
Istana / Rumah adat : Bagas Godang atau Suku minangkabau ' Sumatera barat menyebutnya Ruma gadang
Adat perkawinan : Dikenal istilah Marlojong
Makanan Khas : Lomang 
Hewan sering digunakan acara pesta àdat : kerbau ( Horbo )
Kain khas adat : Sadum
Kain yg sering digunakan dlm adat tertentu disebut abit yg terdiri dari beberapa jenis sebutan diantaranya  : Abit godang  , abit menek dll
Lagu khas : Salak sibakua 
Alat alat musik : Gondang ,dll
Adat tradisi musik : Onang ,onang dan endeng endeng
Ekosistem daerah : Pertanian dan Perkebunan
Hasil bumi : Karet , Kopi ,padi ,jagung ,Duren ,petai ,cengkeh dll
Pertambangan : Emas dll
Marga marga suku asli angkola salah satu diantaranya Dalimunthe sudah tentu asli angkola klo Marga Munthe bisa berasal dari luar suku angkola 

semoga berkenan untuk  menambahkan dan revisi tentang suku angkola 
silakan ..all

Suku Angkola ternyata suku yg mandiri

Di Sumetara Utara terdiri dari beragam suku, budaya, bahasa, dan agama. Suku yang dianggap suku asli Sumatera Utara adalah:
1. Suku Mandailing
2. Suku Angkola
3. Suku Nias
4. Suku Batak
5. Suku Melayu
6. Suku Simalungun
7. Suku Karo
8. SukuPakpak
9. Suku Pesisir
10. Suku Lubu
11. Suku Ulu
Sedangkan  suku bangsa yang dianggap datang belakangan namun sudah turun-temurun menetap di Sumatera Utara adalah:
1, Suku Jawa
2. Suku Minangkabau
3. Suku Aceh.
Penduduk Sumatera Utara banyak juga dari keturunan India, Tiongkok, Arab, dan Pakistan.
Penduduk suku Jawa merupakan penduduk terbesar populasianya di Sumatera Utara.

Dari segi budaya, suku yang memakai marga/fam di Sumatera Utara adalah:
1. Suku Mandailing, masyarakatnya bermarga Nasution, Lubis, Batubara, Rangkuti, Matondang, dst.
2. Suku Angkola, masyarakatnya bermarga Siregar, Harahap, Ritonga, Hutasuhut, Rambe, dst.
3. Suku Nias, masyarakatnya bermarga Laoly, Zebua, Harefa, Waruwu, Gulo, dst.
4. Suku Batak, masyarakatnya bermarga Situmorang, Sitompul, Simatupang, Sihombing, Simanjuntak, dst.
5. Suku Pakpak, masyarakatnya bermarga Banurea, Tinambunan, Lingga, berutu, Bancin, dst.
6. Suku Karo, masyarakatnya bermarga Ginting, Tarigan, Sembiring, Karo-karo, Perangin-angin, dst.
7. Suku Simalungun, masyarakatnya bermarga Damanik, Purba, Saragih, Sinaga, dst.
Dari segi bahasa, suku-suku di atas mempunyai bahasa sesuai dengan suku bangsanya.

Tentang Suku suku Di Sumatera Utara - Indonesia

Sekilas  Tentang Adat Istiadat Budaya dan Bahasa serta Marga Marga Dalam Sistematis Suku Angkola Sumatera Utara Indonesia Dikutip dari Berbagai Sumber Dirangkum dan disusun ulang oleh : Ilmar Dalimunthe
Di Antaranya :
Adat Istiadat
Perkawinan Di Budaya Suku Angkola Dikenal Dengan Istilah Marlodjong

MARLOJONG

BUKAN ADAT ISTIADAT BATAK

Tetapi Marlodjong Adalah salah satu Adat Istiadat Budaya yg ada pada Suku Angkola Sumatera Utara Indonesia

Pada masyarakat Angkola, jaringan kekerabatan itu muncul karena adanya perkawinan, termasuk perkawinan marlojong ‘kawin lari’. Bentuk perkawinan yang seperti ini sering ditemukan di kampung (bona bulu) dan di perkotaan yang merupakan tempat tinggal di perantauan. Pada garis besarnya, perkawinan menurut masyarakat Angkola dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
1) sepengetahuan keluarga yang disebut dengan istilah dipabuat
2) perkawinan tanpa persetujuan orang tua yang disebut dengan marlojong. Masing-masing kedua cara ini ada aturan, tata cara, dan tata tertibnya yang harus selalu dipa-tuhi oleh setiap orang Angkola. Kedua bentuk perkawinan itu tergambar lewat pantun Ang-kola berikut ini, /Aha na tubu di lambung ni suhat/Ulang baen margonjong-gonjong/Adong na marbagas dipabuat/Dung i muse adong na marlojong/ yang artinya adalah, /Apa yang tumbuh dekat keladi/Jangan dibuat berderet lagi/Ada yang kawin dilamar pasti/Namu ada yang kawin lari/.
Perbuatan marlojong ‘kawin lari’ pada masyarakat Angkola merupakan satu kebiasaan apabila perkawinan yang umum tidak dapat dilakukan. Untuk itu, perlu diketahui dan dipahami dengan baik perkawinan menurut adat Dalihan na Tolu ini di daerah Angkola. Tulisan ini memberikan penjelasan untuk lebih mengenal perkawinan marlojong ‘kawin lari’, salah satu cara perkawinan pada masyarakat Angkola. Jadi, perkawinan marlojong ini merupakan jalan keluar yang akan ditempuh oleh sepasang muda-mudi Angkola apabila mereka memperoleh kesulitan dan kendala yang tidak dapat diselesaikan. Untuk itu, penyelesaian masalah dapat dilakukan melalui mufakat seperti kata pantun Angkola berikut ini, /Mago pahat mago uhuran/Di toru ni ragi-ragi/Mago adat tulus aturan/Anggo dung mardomu tahi/ yang artinya adalah, /Hilang pahat hilang ukuran/ Di bawah adanya urat/Hilang adat hilang aturan/Kalau sudah bertemu mufakat/. Maksudnya, musyawarah/mufakat itu dapat menyelesaikan semua permasalahan yang timbul.
Pengertian “Kawin Lari”
Istilah “kawin lari” dalam masyarakat Angkola disebut dengan marlojong . Berdasarkan etimologinya, kata marlojong berasal dari awalan mar yang berarti ‘ber’ lalu melekat pada kata lojong yang berarti ‘lari’. Jadi, kata marlojong berarti ‘berlari’. Kemudian kata marlojong berkembang artinya menjadi ‘kawin lari’. Menurut masyarakat Angkola, marlojong ‘kawin lari’ ini merupakan satu perkawinan yang dapat diterima dalam adat istiadat. Perkawinan marlojong ini dilaksanakan tanpa
sepengetahuan/persetujuan orang tua perempuan. Ada juga yang menyebut marlojong ini dengan dua istilah lain yaitu mambaen rohana dan marlojong takko-takko mata. Istilah mambaen rohana terdiri atas dua kata. Pertama, kata mambaen yang berasal dari kata baen yang berarti ‘buat’ dengan mendapat awalan mam yang berarti ‘ber’. Kedua, kata rohana pula yang berasal dari kata roha yang berarti ‘hati’ dan akhiran na yang berarti ‘–nya’. Jadi, ungkapan mambaen rohana berarti ‘berbuat hatinya’ yang mengandung pengertian ‘menurutkan kata hatinya’. Istilah marlojong takko-takko mata pula berasal dari kata marlojong ‘berlari’, takko-takko yang berarti ‘curi-curi’ dan mata yang juga berarti ‘mata’. Sehingga istilah marlojong takko-takko mata ini berarti ‘berlari curi-curi mata’. Kemudian dalam perkembangannya, arti istilah marlojong takko-takko mata ini berubah menjadi ‘mencuri, tetapi dilihat/diketahui’.
Maksudnya, marlojong ‘kawin lari’ seperti ini disetujui sebagian keluarga dan sebagian lagi kurang menyetujuinya. Perbuatan marlojong ‘kawin lari’ ini dilakukan oleh seorang pemuda, yang disebut dengan bayo, dengan membawa seorang anak gadis, yang disebut dengan boru, ke rumah orang tua/famili pihak laki-laki tanpa diketahui oleh orang tua perempuan. Secara umum, orang tua pihak perempuan kurang menyetujui perkawinan seperti ini karena adanya perbedaan status sosial. Namun marlojong ‘kawin lari’ ini dapat juga terjadi karena melangkahi kakak yang belum kawin yang bertentangan dengan adat istiadat. Dalam hal ini, pantun Angkola berkata, /Diboan dope eme sitarolo/Na dijomurkon di ari parudan/Adat ni ompunta na parjolo/I ma hita paobanoban/ yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah, /Dibawa padi sitarolo pula/Yang dijemur di musim hujan/Adat moyang dahulu kala/Itulah yang jmenjadi pedoman/. Jadi, perkawinan sebaiknya berpedoman pada adat yang ada. Sedangkan, marlojong ‘kawin lari’ ini hanya dilakukan saat muda-mudi itu dalam keadaan terdesak dan “darurat” saja.
Seorang anak gadis yang sudah dewasa dalam masyarakat Angkola pantas untuk dikawinkan. Pantun yang menggambarkan hal itu tampak pada,/Talduskon ma giring-giring/Laho mamasukkon golang-golang/Tinggalkon ma inang adat na bujing/Madung jujung adat matobang/ yang artinya adalah, /Tanggalkan gelang tangan manis/Saat masuk gelang biasa/Tinggalkan kebiasan anak gadis/Sudah sampai ke masa dewasa/. Untuk itu, ada dua cara perkawinan (pabagas boru) menurut adat orang Angkola. Pertama, disebut dengan dipalakka sian tangga jolo yang artinya ‘diberangkatkan dari tangga depan’.
Maksudnya, perkawinan ini dilakukan dengan persetujuan orang tua kedua belah pihak. Perkawinan seperti ini disebut juga dengan dipabuat ‘diambilkan’. Kedua, disebut dengan marlojong ‘kawin lari’. Cara ini dilakukan dengan berangkat dari tangga belakang tempat tinggal anak gadis yang di masyarakat Angkola disebut dengan kehe sian tangga pudi yang berarti ‘pergi melalui tangga belakang’. Pengertian sepenuhnya ungkapan ini adalah ‘pergi kawin dengan kemauan sendiri tanpa izin orang tua’. Kalau seorang anak gadis marlojong dengan seorang pemuda, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu:
(1). Memberi tanda abit partading atau abit partinggal ‘kain pertinggal’. Peralatan yang dipakai adalah kain sarung bermotif kotak-kotak, berwarna hitam, dan di bawah tempat tidur. Tanda ini disebut juga dengan na balun di amak ‘yang bergulung di tikar’. .
(2). Membuat tanda patobang roha ‘menuakan hati’. Caranya, si anak gadis menulis surat kepada kedua orang tuanya yang menyatakan bahwa dia benar telah berangkat untuk berkeluarga dengan menyebutkan nama si laki-laki dan alamat yang ditujunya.
(3). Meninggalkan tanda pandok-dok ‘pemberitahuan’. Tanda ini berupa uang, kain sarung, dan surat.yang bersatu secara utuh serta diletakkan di kamar tidur si gadis. Kata dok berarti ‘kata’. Jadi, pandok-dok mempunyai arti ‘berkata-kata; pemberitahuan’.
Barang-barang tersebut di atas sebagai tanda untuk memberitahukan orang tua bahwa si gadis sudah pergi marlojong ‘kawin lari’. Orang tua si gadis dengan melihat tanda yang ada di kamar tidur, telah mengetahui bahwa anak gadisnya pergi mambaen rohana ‘menurutkan kata hatinya’. Lalu ketika mau marlojong itu, si anak gadis harus bersiap-siap membawa teman. Fungsi temannya ini adalah sebagai pengawal yang disebut dengan pandongani ‘penemani; orang yang menjadi teman si anak gadis ketika marlojong’.
Penutup
Perkawinan marlojong sebenarnya merupakan perkawinan yang kurang disukai orang-orang Angkola. Namun sebab keadaan yang memaksa dan tidak bisa terhindarkan,perkawinan marlojong ini pun banyak pula sekarang ini dipergunakan oleh muda-mudi di Angkola.
Jadi, marlojong ‘kawin lari’ ini sebenarnya merupakan jalan pintas terakhir yang dilakukan seorang pemuda Angkola karena adanya hambatan serta rintangan yang terjadi, terutama karena kekurangsetujuan dari pihak orang tua dan keluarga si anak gadis terhadap si pemuda tersebut.
Oleh Prof. H. Ahmad Samin Siregar
Penulis, Guru Besar Fak. Sastra USU
Sumber : Waspada Online

Asal dan usul bahasa  Suku Mandailing Natal dan  Suku Angkola

Pendapat Pakar bahasa H.N van der tuuk  (1971) "dengan mengacu ke pantai barat sumatera, dengan aman dapat dikatakan bahwa bahasa mandailing meluas dari ophir di sebelah selatan sampai ke perbatasan bagian utara dari sipirok dan batang toru. bahasa mandailing terbagi menjadi bahasa mandailing utara (juga disebut angkola) dan bahasa mandailing selatan (mandailing) dan hampir tidak ada batas pasti di antara keduanya (mirip) .

PENDAPAT VAN DER TUUK TERSEBUT MENUNJUKKAN DENGAN JELAS BAHWA BAHASA ORANG MANDAILING DAN ORANG ANGKOLA menyebar dari selatan.

pendapat ini sejalan dengan pendapat harry parkin (1978) dan prof uli kozok (2009) "aksara menyebar dari selatan (mandailing) ke utara.

ketiga orang ini (van der tuuk, harry parkin dan uli kozok) berasal dari pihak diluar suku mandailing, angkola dan "utara" jadi lbh objektif dan ilmiah serta tidak ada kepentingan pribadinya

hal yg sama juga dikatakan oleh Bisuk Siahaan (2005) dalam bukunya "Batak Toba, Kehidupan di Balik Tembok Bambu". Pendapat ini ikut memperkuat bahwa Mandailing bukan sub-etnis Batak. Aksara Mandailing memiliki aksara nya, wa dan ya melambangkan tiga bunyi yang terdapat dalam Bahasa Mandailing, sementara bunyi ini tidak terdapat dalam bahasa Toba. tetapi mereka memiliki aksaranya. Ketiga huruf ini jelas menjadi mubazir di Toba. Contohnya kata sayur(Mandailing) dan saur (Toba). Manyurat(Mandailing) dan manurat (Toba).

silahkan dibaca  dan dipahami

SUDUT PANDANG

ASPAL ( ASLI TAPI PALSU ) DAN ASEPAL ( ASLI SEPERTI PALSU )

MARGA MARGA TABBALAN DAN MARGA MARGA ORIGINAL

MARGA MARGA TABALAN SEPERTI ASPAL ( ASLI TAPI PALSU )

SANGAT MENGHARGAI PEMBERIAN MARGA YG DITERIMA DAN DISANDANG

MARGA TABBALAN DIDAPAT DIKARENAKAN BEBERAPA HAL SALAH SATUNYA DIANGKAT MENJADI ANAK OLEH SALAH SATU KELUARGA HINGGA DAPAT MENYANDANG MARGA DISYAHKAN SESUAI ADAT ISTIADAT DAN PERATURAN YG BERLAKU DISETIAP SUKU ATAU DAERAH DIMANA ADANYA PENABBALAN MARGA MARGA SEPERTI DI WILAYAH SULAWESI DLL

MARGA MARGA ORIGINAL SEPERTI ASEPAL ( ASLI SEPERTI PALSU

KARENA KURANGNYA MINAT TENTANG PENGETAHUAN ASAL USUL MARGA MARGA YANG DISANDANG HINGGA YANG ASPAL LEBIH PAHAM DAN MENGERTI DARI YANG ASEPAL

MARGA ORIGINAL ADALAH MARGA MARGA YANG DISANDANG DARI SEJAK LAHIR DAN DILANJUTKAN KE GENERASI GENERASI BERIKUTNYA KARENA MARGA MARGA ORIGINAL JUGA DIDAPAT DARI GENERASI GENERASI SEBELUMNYA HINGGA PULUHAN PULUHAN GENERASI

MENGAPA DAN KENAPA DEMIKIAN ?

MARGA MARGA BUKAN KELOMPOK DARI SALAH SATU SUKU ATAU DAERAH TETAPI MARGA MARGA TERBENTUK SEJAK ZAMAN PARA NABI NABI SEJAK DAHULU DIKENAL DENGAN KAUM ATAU BANI HINGGA TERSEBUT KHUSUS HINGGA KINI CONTOH : MARGA MARGA BANI AWALIYIN DIKENAL DENGAN KELUARGA HABIB DAN SARIFAH SERTA LAINNYA

Di Sumetara Utara terdiri dari beragam suku, budaya, bahasa, dan agama. Suku yang dianggap suku asli Sumatera Utara adalah:
1. Suku Mandailing
2. Suku Angkola
3. Suku Nias
4. Suku Batak
5. Suku Melayu
6. Suku Simalungun
7. Suku Karo
8. SukuPakpak
9. Suku Pesisir
10. Suku Lubu
11. Suku Ulu
Sedangkan  suku bangsa yang dianggap datang belakangan namun sudah turun-temurun menetap di Sumatera Utara adalah:
1, Suku Jawa
2. Suku Minangkabau
3. Suku Aceh.
Penduduk Sumatera Utara banyak juga dari keturunan India, Tiongkok, Arab, dan Pakistan.
Penduduk suku Jawa merupakan penduduk terbesar populasianya di Sumatera Utara.

Dari segi budaya, suku yang memakai mahttps://www.sukuangkola.blogspot.comrga/fam di Sumatera Utara adalah:
1. Suku Mandailing, masyarakatnya bermarga Nasution, Lubis, Batubara, Rangkuti, Matondang, dst.
2. Suku Angkola, masyarakatnya bermarga Siregar, Harahap, Ritonga, Hutasuhut, Rambe, dst.
3. Suku Nias, masyarakatnya bermarga Laoly, Zebua, Harefa, Waruwu, Gulo, dst.
4. Suku Batak, masyarakatnya bermarga Situmorang, Sitompul, Simatupang, Sihombing, Simanjuntak, dst.
5. Suku Pakpak, masyarakatnya bermarga Banurea, Tinambunan, Lingga, berutu, Bancin, dst.
6. Suku Karo, masyarakatnya bermarga Ginting, Tarigan, Sembiring, Karo-karo, Perangin-angin, dst.
7. Suku Simalungun, masyarakatnya bermarga Damanik, Purba, Saragih, Sinaga, dst.
Dari segi bahasa, suku-suku di atas mempunyai bahasa sesuai dengan suku bangsanya.

MARGA MARGA SUKU ANGKOLA

On ma marga" asli di Angkola dohot di Mandailing.

Menurut Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M. Siahaan, di Angkola dan Sipirok terdapat marga-marga Pulungan, Baumi, Harahap, Siregar, Dalimunte dan Daulay. Di Padang Lawas, terdapat marga-marga Harahap, Siregar, Hasibuan, Daulay, Dalimunte, Pulungan, Nasution dan Lubis.

Menurut Basyral Hamidy Harahap dalam buku berjudul Horja, marga-marga di Mandailing antara lain Babiat, Dabuar, Baumi, Dalimunthe, Dasopang, Daulae, Dongoran, Harahap, Hasibuan, Hutasuhut, Lubis, Nasution, Pane, Parinduri, Pasaribu, Payung, Pohan, Pulungan, Rambe, Rangkuti, Ritonga, Sagala, Simbolon, Siregar, Tanjung.

Anggo adong marga na sarupa goarna dohot na sian Toba, dungi halahi gabe marsada urusan intern ni marga i ma i. Ima strategi ni Ulando i mangirim alak Batak tu Angkola. Dohot resiko halahi artina halak na ro tu Angkola, harana dompak penyerangan R. Cola 1025 tu Panai, Angkola inda longon (tidak kosong).  Disi adang hian klan Ompu Jalak Maribu na manurunkon marga Dalimunthe dohot klan Aji Malim Lemleman na manurunkon marga Harahap, Ompu Parmata Sopiak na manurunkon marga Daulae dohot na asing" nampuna tanah ulayat na be. Songoni muse ma aropku marga" Siregar dohot na asing" antargan so ro panjajah Ulando i madung adong tanah ulayatna di Sipirok bope di na asing" di Angkola. Poinku, umumna halak Angkola/Mandailing inda marasal sian Toba (bahkan halak Toba pun bukan semua keturunan SRB, boleh jadi sebaliknya). Botima...

Sumber Sumber yg perlu dipelajari dan dipahami ...

https://m.facebook.com/groups/135418257296164?view=permalink&id=149106515927338

https://m.facebook.com/groups/222426864441784?view=permalink&id=4056017681082664

https://www.facebook.com/groups/147517652695203/permalink/666913944088902/

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2939324092832208&id=100002639397292

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=3418107528217308&id=100000542827214

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=3419662658061795&id=100000542827214

Suku Mandailing Bukan batak
https://www.facebook.com/groups/320457018144888/?ref=share

Sejarah suku angkola bukan batak
https://www.facebook.com/groups/147517652695203/?ref=share

Suku Pakpak Bukan Batak
https://www.facebook.com/groups/343005579185780/?ref=share

Suku Karo Bukan Batak
https://www.facebook.com/groups/247813209971847/?ref=share

Suku Simalungun Bukan Batak
https://www.facebook.com/groups/888998821556922/?ref=share